Pandawa Piningit
Dimulai dari hutan Kamiyaka, Pandawa
sedang dalam masa pembuangan selama 12 tahun. Seluruh Brahmana resi selalu
mengiringi perjalanan Pandawa. Digambarkan seakan-akan seluruh alam turut
merasakan kesengsaraan Pandawa. Dewi Drupadi sudah kuat lagi dengan penderitaan
yang tengah dirasakan, kemudian melinangkan air mata. Dewi Drupadi mengeluh.
Sedang Puntadewa berdo’a kepada sang Tuhan agar senantiasa diberikan
keselamatan. Sang Arjuna juga turut berserah diri kepada Yang Maha Kuasa.
Drupadi akhirnya juga turut berdo’a agar diberikan keteguhan.
Bratasena tidak terima dan sakit
hati dengan keadaan ini, Bratasena sangat membenci Kurawa. Menurut Bratasena,
mengapa kakak iparnya Drupadi juga ikut serta dibuang dengan mereka, kalau
hanya para Pandawa, itu tidak akan jadi suatu masalah.
Puntadewa memberi nasehat agar
Bratasena tidak lepas kendali, dapat menahan nafsu amarahnya. Puntadewa
mengatakan bahwa sudah menjadi kewajiban seorang wanita untuk berbakti dan ikut
dengan suami. Bratasena menyalahkan kakaknya tersebut, karenanyalah kalah
bermain judi, akhirnya mereka harus dihukum buang. Sedang Arjuna mengatakan bahwa kesengsaraan mereka alami,
akibat kelicikan dari paman mereka, Sengkuni dan juga sifat buruk dari
Duryudana serta Dursasana.
Bratasena berkeinginan untuk
menyerang Kurawa, tidak perlu menunggu sampai genap 13 tahun. Namun Puntadewa
mencegah dan menyarankan agar sebaiknya meneruskan perjalanan.
Ditengah perjalanan, Nakula, Sadewa
meminta untuk istirahat sejenak dan minum air yang ada di danau. Puntadewa
mengijinkan Nakula, Sadewa, Arjuna dan
Bratasena untuk minum air yang ada di danau, mudah-mudahan bisa menghilangkan
dahaga mereka.
Namun tanpa diduga-duga, keempatnya
meregang karena terkena racun air danau. Puntadewa mengadu kepada Dewa. Seorang
Brahmana tua mendekati Pandawa, kemudian sang Brahmana bertanya, apa yang
sesungguhnya terjadi. Kemudian Puntadewa menjawab bahwa keempat saudaranya
tewas setelah meminum air yang ada di danau.
Sang Brahmana memberikan wejangan,
bahwa dari kejadian tersebut, air yang bening bisa dijadikan gambaran sebagai
keindahan alam yang tampak begitu sangat indah, namun belum tentu bermanfaat
bagi kita. Sang Bathara bertanya kepada Puntadewa, bila seandainya ia bisa
menghidupkan kembali salah satu dari keempat saudaranya, siapa yang akan
Puntadewa pilih. Lalu Puntadewa memilih Sadewa, dengan alasan ingin bertindaka
adil agar kedua ibunya bisa mempunyai keturunan. Sang Brahmana kagum akan
keluhuran budi Puntadewa.
Seketika itu Brahmana tua berubah
wujud menjadi Dewa Dharma. Puntadewa beserta Drupadi menghormat kepada Dewa
Dharma. Dewa Dharma mengabulkan permintaan Puntadewa, menghidupkan kembali
keempat saudaranya. Dipercikan olehnya air suci kehidupan. Keempatnya dapat
hidup kembali dan mengucapkan termakasih kepada Dewa Dharma. Dewa Dharma
meminta Pandawa untuk menepati janji agar jangan sampai ketahuan selama masa
hukuman. Melaksanakan 12 tahun di hutan lalu 1 tahun penyamaran. Segala
penderitaan dianggap saja sebagai ujian keteguhan hati, agare dapat mempertebal
keimanan kepada Sang Maha Tunggal. Tidak boleh gentar menghadapi hadangan.
Dewa Dharma akan merubah Pandawa dan
memerintahkannya agar pergi ke Wirata dan mengabdi disana, kepada prabu
Matswapati. Para Pandawa sanggup untuk menjalankan perintah. Dewa Dhrama
mengubah Puntadewa menjadi Mantri Pasar, Bratasena menjadi penjagal, Arjuna
menjadi waria, Nakula Sadewa menjadi pengembala, sedang Drupadi menjadi dayang.
Sang Arjuna menghadap Dewa Dharma,
dia tidak terima dengan apa yang diberikan kepadanya. Dewa Dharma memberikan
wejangan, bahwa semua itu merupakan sebuah karma karena dulu Arjuna menolak
bercinta dengan dewi Utari. Dewa Dharma mengatakan kepada Arjuna, bahwa semua
itu jangan dijadikan sebagai penyesalan.
Pasukan prabu Susarman dari negara
Trigata, bersekutu dengan Astina bersiap menyerang Wirata. Prabu Susarman
berkata kepada kedua patihnya yaitu Bogadata dan Bogadati, bahwa ada perintah
penting dari prabu Duryudana untuk segera menyerang Wirata.
Sedang di tempat lain, prabu
Duryudana beserta para panglima Astina menyuruh agar semua menyiapkan pasukan.
Kemudian prabu Duryudana menanyakan keberadaan para Pandawa, sedang sang Bisma
menjawab pertanyaan dari sang cucu, bila hendak mencari keberadaan mereka, itu
mudah, karena sudah ada ciri-cirinya. Bilamana ada sebuah tempat yang
orang-orangnya mempunyai pekerti yang luhur maka disitula terdapat Puntadewa,
bilaman disuatu daerah para penjahat menemui ajalnya, disitulah terdapat
Bratasena, bilamana ada suatu tempat yang indah, makmur, penduduknya taat
beribadah, berbudaya disitulah Arjuna bernaung. Bilamana adasebuah tempat
dimana daerah tersebut kaya raya, hasil pertaniannya melimpah, serta banyak
peternakan maka disitulah terdapat Nakula dan juga Sadewa.
Sedang menurut Raden Karna bahwa
perkara menemukan para Pandawa adalah nomor dua, yang terpenting sekarang
adalah dapat segera mengalahkan Wirata untuk menambah kekuatan pada perang
Bharatayuda. Duryudana minta diri pada Bisma untuk pergi ke medan perang. Bisma
akan tempat tinggal dan menunggu di pertapan Talkanda.
Di tempat lain, Puntadewa mengajak
bicara adiknya yaitu Bratasena yang menyamar menjadi Bilawa, bahwa Prabu
Matswapati sedang mengalami kesulitsn menghadapi serangan daripada pihak
Kurawa. Puntadewa meminta Bilawa agar dapat membantu prabu Matswapati. Bilawa
menolak permintaan dari sang kakak, karena menurutnya hanya kurang dua hari
masa hukuman itu akan berakhir, bila sampai ketahuan oleh Kurawa, maka mereka
akan dihukum kembali selama 13 tahun kembali. Sang Puntadewa mengancan akan
pati obong bila Bilawa tidak mau membantu prabu Matswapati. Akhirnya Bilawa mau
menuruti perintah dari Puntadewa.
Negara Wirata terkepung pasukan
musuh. Terjadilah perang antara raden Utara melawan prajurit, sedang raden Seta
melawan patih Bogadata dan Bogadati. Pabu Matswapati berhadapan dengan prabu
Susarman. Pihak Wirata hampir mengalami kekalahan, pada saat yang seperti itu,
datang Bilawa menyamar menjadi pohon besar, pasukan Trigata dibuatnya kaget
dengan kedatangan pohon besar itu. Pihak Trigata mengalami kekalahan.
Sampai pada adegan gara-gara,
seperti biasa Bagong dan Petruk saling menyatakan pendapat, datanglah Gareng
mendamaikan keduanya dan memberi nasihat bahwa keduanya tidak boleh merasa
lebih pintar, lebih mampu. Kemudian datang Semar yang memberikan wejangan agar
tidak melakukan ma-lima, yaitu madon ( berzina ), main (berjudi ), minum (
minum minuman keras ), madat ( menggunakan Narkoba atau obat-obatan terlarang ),
maling (mencuri ).
Terjadi perang kembang, Wrehatnala
atau Arjuna melawan musuh dari pihak Kurawa, namun Wrehatnala berhasil memukul
mundur lawan.
Adegan taman Wirata, Wrehatnala
sedang melatih tari dewi Utari dan dayang-dayang. Kebudayaan di Wirata begitu maju berkat
keikhlasan dharma bhakti tanpa pamrih dari sang Wrehatnala. Datanglah dewi
Sudesna diiringi Salindri. Dewi Sudesna bertanya kepada Salindri, apakah benar
suami Salindrilah yang telah membunuh adik dewi Sudesna, Kincakarupa. Salindri
mengiyakannya, dewi Sudesna marah dan mengusir Salindri. Disaat seperti itu,
datanglah raden Wratsangka, Wratsangka melapor bahwa Wirata sudah terkepung dan
meminta ibunya agar bersedia mengungsi dari Wirata. Sang ibu menolaknya, ia
kecewa pada Wratsangka karena itu bukan laku seorang Ksatria. Wratsangka
berdalih bahwa itu karena kusir semuanya telah mati di medan perang. Salindri
kemudian mengajukan pendapat agar wrehantala saja yang dijadikan kusir raden
Wratsangka. Raden Wratsangka ragu karena Wrehantala hanya seorang waria, hanya
bisa menari. Namun Wrehantala berusaha untuk meyakinkan raden Wratsangka bahwa
dahulu ia pernah menjadi kusir Arjuna, bertambah heran Wratsangka kepadanya,
namum dewi Sudesna menyarankan agar Wratsangka mencoba. Lalu segera berangkat keduanya
menuju medan perang.
Di tengah perjalanan, Wratsangka
gentar hatinya demi melihat pasukan musuh yang berjumlah sangat banyak dan
mempunyai kekuatan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Raden Wratsangka
memerintahkan Wrehantala untuk memutar balik keretanya dan pulang kembali ke
Wirata. Wrehantala menjambak rambut Wratsangka agar tidak melarikan diri.
Wratsangka marah dibuatnya, Wrehantala meminta maaf pada Wratsangka, bukan
maksud hati bertindak seperti itu, namun demi Wirata, mereka harus tetap maju,
namun Wratsangka kecut hatinya. Kemudian Wrehantala menyarankan untuk tukar
posisi, Wratsangka menjadi kusir sedangkan Wrehantala menjadi senapati.
Wratsangka dibuatnya terheran-heran. Karena kondisi semakin mendesak,
Wratsangka bersedia tukar posisi. Wrehantala mengambil senjata. Wratsangka
kembali kaget setelah dilihatnya senjata-senjata Pandawa. Wrehantala
menjelaskan bahwa dahulu ia diamanati untuk menjaga pusaka-pusaka itu.
Wrehantala disuruhnya memilih salah satu dari pusaka-pusaka tersebut. Lalu
Wrehantala memilih Gandewa. Tak henti-hentinya Wratsangka heran, karena yang
dapat membentangkan senjata itu hanyalah cucunya, Arjuna. Disuruhnya untuk
membentangkan Gandewa. Dan dari situlah dapat diketahui bahwa Wrehantala adalah
Arjuna itu sendiri, Wratsangka merasa bersalah karena selama di Wirata, ia
sudah memperlakukan Arjuna dengan kurang baik. Lalu arjuna menceritakan mengapa
ia melakukan semua itu. Keduanya kemudian maju perang, Arjuna membentangkan
Gandewanya. Kurawa dibuatnya kocar-kacir mendapat serangan panah dari Arjuna.
Drona menangkap salah satu panah, ia tahu siapa pemilik dari panah itu dan
memilih untuk kembali ke Istana. Duryudana terkena panah. Karna menagkap salah
satu panah, ia kemudian tahu, bahwasanya saudara Pandawa berlindung di Wirata,
ia berjanji tidak akan berkata kepada siapapun mengenai keberadaan mereka dan
memilih untuk kembali ke Awangga.
Adegan kerajaan Wirata. Prabu
Matswapati, permaisuri dan segenap para punggawa merasa sangat bangga karena
Wratsangka telah berhasil memukul mundur pihak musuh. Namun di tengah
kebahagiaan itu, Dwijangka yang sejatinya adalah Puntadewa mengatakan yang
sebenarnya, bahwa yang berhasil menghalu musuh sebenarnya bukan Wratsangka,
namun Wrehantala. Prabu Matswapati seketika marah dan memukul Dwijangka dengan
bokor, dari dahinya keluar darah putih, Salindri menampung darah putih dan
berlinang airmata, mereka kemudian diusir. Belum hilang kemarahan prabu
Matswapati, datanglah Wratsangka. Prabu kembali sumringah demi dilihatnya
putranya yang dia dyga telah berhasil menghalau musuh. Namun seperti apa yang
telah nyata terjadi, bahwa yang telah berhasil menghalau musuh itu bukanlah
Wratsangka sendiri, namun Wrehantala. Prabu terheran-heran akan apa yang
didengarnya, tidak percaya, dikiranya Wratsangka tengah berpura-pura.
Pandawa dan Drupadi memasuki istana
Wirata. Keenamnya sekarang mengakui penyamaran yang telah mereka lakukan. Prabu
Matswapati merasa sangat menyesal, karena orang-orang yang telah disakitinya
dalah cucunya sendiri para Pandawa dan kemudian maaf kepada para Pandawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar